
6K PILAR PENGASUHAN MENYAMBUT PARA SANTRI
Liburan telah usai. Rasanya baru kemarin kita berpisah dengan para Santri saat ini kita akan menyambut kembali kehadiran mereka dengan sepenuh hati. Dengan latar belakang yang heterogen, pengaruh lingkungan dan tsunami informasi kita tidak mampu mengendalikan perilaku yang mereka lakukan ketika liburan, kita semua berharap kebiasaan – kebiasaan di Pondok menjadi karakter dan bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.



Dari rumah ke pesantren, mereka membawa ransel pengasuhan dengan isi yang beragam. Ada kasih sayang yang mereka pelajari sejak dini, cinta yang tumbuh dari dekapan orang tua, dan kebahagiaan dari tawa masa kecil yang tak tergantikan. Namun, tak jarang terselip pula luka batin bekas dari kata-kata yang menyakitkan, trauma pengasuhan, harapan yang tak terpenuhi, atau perhatian yang terabaikan. Semua itu mereka bawa dalam diam bahkan ada juga yang menunjukan prilaku yang tidak wajar , dalam langkah-langkah menuju tempat di mana jiwa mereka akan dibentuk dan ditempa.



Di pesantren, ransel itu perlahan dibuka, dibersihkan, dan diisi ulang dengan keimanan, Al-Qur’an, ilmu, keikhlasan, doa dan pembiasaan Islami lainnya. Sebab hidup bukan tentang membawa beban tanpa henti, tetapi tentang belajar merawat hati, memaafkan masa lalu, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan penuh cahaya.




Enam pilar berikut bisa menjadi bekal pengasuhan menyambut para Santri.
- Keikhlasan
Pilar pertama adalah keikhlasan. Ini bukan sekadar tugas mengajar ini ibadah. Setiap teguran, pelukan, atau air mata saat membimbing santri, semua bernilai ibadah di sisi Allah bila diniatkan karena-Nya. Keikhlasan menjaga hati tetap hangat meski lelah, tetap lembut meski diuji. Karena kita bekerja bukan untuk pujian, tapi untuk ridha-Nya. - Kesadaran
Pilar kedua adalah kesadaran. Kita bukan hanya pengajar kita adalah pengasuh, pembimbing, dan penjaga akhlak. Kesadaran dengan tujuan yang mulia ini akan membuat kita lebih sabar saat mendidik, lebih bijak saat menilai, dan lebih kuat saat diuji. Karena kita tahu, anak-anak ini adalah amanah besar yang harus kita jaga agar menjadi generasi penerus yang lebih baik dari kita. - Keteladanan
Anak-anak tidak hanya belajar dari lisan kita, tapi dari perilaku hidup kita. Keteladanan adalah pendidikan yang paling dalam. Ketika mereka melihat kita sabar, mereka belajar sabar. Saat mereka melihat kita jujur, mereka meniru jujur. Jadilah buku hidup yang bisa mereka baca setiap hari.
“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik…” (QS. Al-Ahzab: 21) - Keistiqomahan
Pendidikan bukan acara seremonial. Ia adalah proses harian, yang sederhana namun terus menerus. Jadilah telaga kebaikan yang selalu mengalir, bukan hujan deras yang hanya sesekali turun. Keistiqomahan dalam mendidik, dalam doa, dalam memberi perhatian itulah yang membentuk jiwa santri, setahap demi setahap. - Kesungguhan
Berilah sepenuh hati. Karena santri bisa merasakan mana guru yang hadir hanya secara fisik, dan mana yang hadir dengan jiwa. Kesungguhan membuat kita rela berjaga saat mereka sakit, menasihati dengan sabar walau sudah lelah, dan tetap mendoakan mereka bahkan setelah mereka lulus.
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami tunjukkan jalan-jalan Kami…” (QS. Al-Ankabut: 69) - Kepasrahan
Tak semua santri akan langsung berubah, tak semua nasihat akan langsung menumbuhkan. Tapi tugas kita hanyalah berusaha sebaik-baiknya karena kita bukan pemberi hidayah . Sisanya, kita serahkan kepada Allah. Kepasrahan akan membuat hati kita lapang dan doa kita lebih tulus. Karena kita sadar, hidayah itu milik-Nya.
Semoga Allah mudahkan langkah kita, bisa memberikan teladan untuk mereka, dan Allah berkahi setiap hari yang kita habiskan Bersama para Santri. Aamiin.




Wallahu ‘Alam Bishowab
Salam AMCo Inspiringgai lembaga yang peduli terhadap *GENOSIDA DI PALESTINA. Sebuah pelajaran nyata bahwa pendidikan tidak hanya mencetak kecerdasan, tetapi juga *membangun keberpihakan terhadap kebenaran dan keadilan.